Monday 6 May 2013

Kamu, Beibyku Sayang :)


Malam yang gerah, panas, gersang untuk perasaan dan hatiku sekarang. Padahal suasana malam tidak seburuk hatiku. Sebenarnya malam ini sangat damai dan sejuk tapi tidak untukku. Aku merasa angin bertiup dan hembusannya membisikkan telingaku hanya untuk merayu dan membujukku. Belaiannya pada rambutku hanya untuk menggodaku. Sungguh aku benci, sangat benci. Kesal! Huh! Duduk termangu di jendela kamar dengan perasaan kesal! Benci! Marah! Yah apa lah semuanya.

“Sayang, bagaimana nak”, tanya ibuku yang tiba-tiba menghampiriku. “Pokoknya Sinta ga mau, Sinta ga suka bu. Ibu bisa ga ngerti Sinta? Kayaknya dari kemarin tuh itu-itu terus yang di omongin. Sinta bosen bu”, jelas Sinta pada ibunya dengan nada kesal tapi tetap tenang. “Nak, tapi ibu setuju sekali Sinta. Ibu sangat bahagia kalau kamu sama dia” jelas Ibu dengan wajah tenang. “Tapi kan sekarang bukan zamannya Siti Nurbaya bu. Sinta bisa kok pilih sendiri mana laki-laki yang pantas untuk Sinta”, tandas ku lagi. “Iya ibu mengerti sayang, tapi insyaallah dia bisa memimpinmu”, balas ibu lagi tidak mau kalah tapi tetap tenang. “Aku ga mau bu, Sinta mohon ibu mengerti”, kata ku sambil menangis. “Sudah malam sayang, baiknya kamu istirahat yah”, kata ibu sambil mencium keningku. Aku cemberut diam tak bergeming.


Yah, itu dia itu yang sangat membuatku kesal, marah, benci dengan hal itu. PERJODOHAN! Sudah hampir sebulan keluargaku membujukku untuk menikah dengan laki-laki pilihan mereka. Ayah, Ibu juga ke-3 kakakku, mereka semua telah memilihkan laki-laki untukku yang pastinya aku juga tidak kenal bahkan tidak juga jatuh cinta. Ke 3 kakakku yang semuanya laki-laki mereka semua telah menikah, ya hanya tinggal aku putri bungsu yang masih perawan. Tadinya hubungan kami baik-baik saja tidak ada keadaan seperti  ini. Tapi setelah pembicaraan perjodohan itu aku hampir merasa tak nyaman berada di rumah. Awalnya aku menolak secara perlahan dan juga baik-baik namun nampaknya keluargaku begitu menyayangi laki-laki itu. Rumah ini seperti terjadi perang dingin, terkadang diam seribu bahasa terkadang juga ramai dengan ocehan-ocehan perjodohan.

Kakak – kakakku kan tidak ada yang dijodohkan. Kenapa aku mesti dijodohkan. Ini tidak adil. Apa karena aku ini perempuan sehingga di anggap tidak pandai memilih? Apa karena aku putri bungsu? Ah sungguh tidak adil bagiku. Apa pun alasannya. 

“Assalamu alaikum Sin”, salam ayah dari luar pintu kamar. “Wa alaikum salam , masuk yah pintunya gak di kunci”, jawabku. “Nak, kamu sudah mandi toh. Baguslah kalau gitu sekarang berpakaian yang rapi. Ayah tunggu kamu di bawah”, kata ayahku. “Emang mau ada apa yah?”, tanyaku penasaran. “Ya udah ga ada apa-apa”, kata ayah singkat. Curiga! Tak biasanya ayah menyuruhku dengan bilang tidak ada apa-apa. Tapi ya sudahlah. Aku sebenarnya tidak bisa melawan kedua orangtuaku, apa pun yang mereka suruh pasti aku patuh asal tidak bertentangan saja dengan ajaran Allah. Tapi untuk masalah perjodohan ini ntah kenapa aku sangat menolaknya.

Setibanya di ruang tamu...
Ku lihat seseorang duduk di samping ayahku. Siapa dia? Apakah teman ayah? Tapi nampaknya masih muda. Sudahlah bukan masalah kok.
“Sini nak, duduk”, pinta ayah. Aku pun duduk tepat di kursi depan ayah duduk. “Sinta perkenalkan ini Ahmad anaknya teman ayah”, jelas ayah padaku. Aku hanya tersenyum tapi biasa saja. Memang tampan, tapi siapa dia juga aku tidak peduli. Memang sopan dan santun, tapi aku juga ga peduli. Pokoknya ga peduli. “Sinta, Ahmad ini adalah laki-laki yang sebenarnya akan ayah jodohkan denganmu”, kata ayah yang membuat hatiku kaget. Aku sungguh kaget, marah, kesal. Apa-apaan ini? Ah sungguh aku tak mengerti dengan semua ini. Memang aku tak pernah di kasih tau siapa nama laki-laki itu dan bagaimana orangnya, foto pun tidak. Aku hanya terdiam seribu bahasa. Aku marah, kesal, tapi aku tetap mencoba untuk tenang.

“Oh gitu yah, ini orangnya”, aku tersenyum kecut. “Iya, bagaimana apakah kamu setuju?”, tanya ayah lagi yang masih terus-terusan membujukku. “Hmmm, nanti Sinta pikir-pikir lagi deh ya ayah”, jawabku yang mungkin tidak membuat hati kedua laki-laki yang duduk di hadapanku ini lega. “Maaf ya Sin, ayah ga kasihtau kamu dulu kalau Ahmad mau datang kesini. Sebenarnya ini juga ayah yang suruh dia datang kesini untuk menemui kamu”, jelas ayah. “Iya ga apa-apa ga masalah kok yah”, jawabku singkat dan cuek. “Ya udah ya yah Sinta mau ngerjain tugas kampus dulu udah ga ada yang penting lagi kan untuk di omongin?”, tanya Sinta.

“Ga apa-apa Sinta, kalau lagi sibuk silakan teruskan tugas kamu. Ga ada hal yang penting lagi kok”, jelas pemuda itu membuka suara sambil tersenyum. Aku hanya tersenyum dan secepat kilat aku balik badan dan naik ke kamar.
Mungkin ini jalan terbaik, aku menggantungkan keadaan ini, karena aku pikir orangtuaku akan luluh dan jenuh dengan semua jawaban-jawabanku dan ya mungkin mereka akan menggagalkan perjodohan ini. Tapi nyatanya mereka semua masih bertahan dengan benteng-benteng mereka. Aku juga tak mau kalah. Semoga bentengku juga lebih kuat.

“Sinta, boleh ayah masuk ke dalam?”, tanya ayah di depan pintu kamarku yang tidak aku tutup. “Masuk aja yah”, kataku sambil mengetik tugas di laptopku. “Nak, apa kamu benar-benar tidak mau, tidak setuju dengan pilihan kami?”, kata ayah bertanya ke sekian kalinya. Aku hanya diam dan tidak peduli. Aku terus mengerjakan tugas kampusku. “Sinta, Ahmad itu orangnya baik. Dia anaknya teman ayah waktu SMA dulu. Ayahnya sudah lama meninggal dan ia sempat berpesan untuk menjodohkan anaknya dengan kamu. Ahmad anaknya patuh, sopan, santun, alim, berwibawa, bersahaja, dewasa dan pastinya dia pasti bisa menuntunmu nak di jalan Allah”, jelas ayah padaku mengobral kebaikan Ahmad. Tapi aku tetap tidak peduli, aku hanya diam.

Mungkin diamku ini membuat ayah tidak bisa membujukku lagi. Kemudian ayah balik badan dengan wajah kecewa. “Yah, Sinta bisa kok cari laki-laki pilihan Sinta sendiri. Kenapa sih mesti di jodohkan? Mas Farhan, Mas Fahri, dan Mas Fikri juga mereka tidak dijodohkan”, kataku panjang lebar. “Baiklah kalau memang kamu maunya begitu. Kenalkan pada ayah siapa laki-laki itu. Ayah kasih waktu kamu dalam seminggu, tapi kalau tidak kamu harus terima perjodohan ini, bagaimana?”, pinta ayah menyodorkan tawaran. “Baiklah ayah Sinta terima tawaran ayah”, kataku sangat yakin.



Di kampus...
“Oh, masih juga orangtua kamu berniat menjodohkan, sampai-sampai mereka mempertemukan si Ahmad itu sama kamu dan berharap kamu bisa terima?”, kata temanku Lina menyimpulkan semua ceritaku. “Iya”, kataku singkat dengan wajah kesal. “Terus kamu tetap ga terima?”, kata Lina. “Ga lah, ngapain. Suka juga enggak, aku bilang aja aku bakal cari laki-laki pilihan aku sendiri, tapi ayah memberi aku waktu seminggu kalau ga ya aku harus terima perjodohan itu”, kataku menjelaskan. “Terus kamu terima tawaran itu?”, tanya Lina. “Iya, tapi aku yakin dalam seminggu aku pasti bisa dapetin laki-laki pilihan aku”, kataku meyakinkan. “Kenapa sih kamu ga terima aja laki-laki itu? Emang kamu ga cape apa terus-terusan begini. Ga ada yang mau ngalah, lagi juga pilihan orangtua juga kadang benar kan?”, kata temanku memberi saran. “Ih kamu ngapain jadi belain mereka? Kadang kan bukan sering dan banyak juga yang gagal”, kataku dengan kesal. “Bukan belain Sin, tapi emang kalian ga cape apa perang dingin terus?”, kata temanku. “Yah gimana ya Lin. Aku cape sih tapi yaudahlah ga peduli”, kataku cuek. “Ya udah terserah ente aje ye mpok”, kata Lina. Aku tersenyum mendengar logat temanku ini.
“Tapi kenapa kamu waktu itu ga terima si Damar aja yang waktu itu nembak kamu?”, tanya temanku. “Ga sreg ah sama dia, kayak gimana gitu deh ya kurang sreg aja”, jelasku. “Kalau gitu kenapa ga suruh dia aja untuk pura-pura jadi pacar kamu, terus kamu kenalin deh sama keluarga kamu”, saran Lina. “Cuma pura-pura. Ga ah, nanti kelanjutannya gimana kalau pura-pura, lagian kasian juga Damar kalau Cuma di jadiin tumbal. Pasti dia kesal lah, udah ditolak sekarang Cuma minta pura-pura jadi pacar aku”, jelasku pada Lina. Lina hanya mengangguk-angguk.

Waktu tinggal 2 hari lagi menuju batas seminggu. Tapi belum ada laki-laki yang sreg di hati aku. Bagaimana caranya ini? Apakah aku harus terima perjodohan ini? Ah malas sekali aku memikirkan tapi betapa bodohnya aku.
Ayah, ibu dan ke-3 kakakku selama 5 hari ini tidak pernah sedikitpun membicarakan perjodohan ini. Mungkin tepat waktu seminggu mereka akan menagihnya. Tapi tidak apalah setidaknya keadaan seperti ini sedikit lega untukku.
2 hari telah berlalu dan sekarang tepat waktu seminggu untuk memperkenalkan laki-laki pilihanku yang sebenarnya aku juga belum menemukan. Oke aku mengaku kalah dan harus menerima perjodohan ini dengan sangat benci.

“Baiklah Sinta, ternyata kamu belum menemukan laki-laki pilihanmu kan?”, tanya ayah padaku. Aku hanya tertunduk diam, malu. “Baik kalau begitu kamu terima ya tawaran kami?”, tanya ayah. Aku hanya manggut-manggut tapi tetap terdiam dan cemberut. Mungkin ini bisa mengobati rasa kecewa orangtuaku dan juga kakak-kakakku. Juga ayahnya Ahmad yang sudah meninggal, tapi hanya untuk menikah bukan mencintai dan menyayangi. Kakak-kakak iparku merasa iba melihatku tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ini sudah menjadi keputusan. Mereka hanya membelai rambutku dan memelukku. Mereka hanya bilang “Jalani saja mungkin ini yang terbaik buat kamu, sabar ya, tabah ya, terima ya dan apa sajalah untuk menghibur hatiku.

Keesokan harinya...
Ahmad datang bersama ibu dan pamannya untuk melamarku. Aku mencoba tersenyum untuk menjawab “ya” meski hatiku sakit. Aku tidak mencintai pria ini, aku tidak sayang dengan pria ini, mungkin kalau di bilang benci “iya”. Tapi harus bagaimana lagi, aku telah kalah dalam permainan perang dingin ini. Mereka semua tersenyum bahagia dan tidak ada yang peduli bagaimana hatiku, perasaanku. Hatiku sakit sekali, sedih sekali, tapi mereka semua tertawa senang di atas penderitaanku.
Seminggu lagi hari yang telah di pilih oleh keluarga sebagai hari pernikahanku dengan Ahmad. Sebenarnya ayah menayakan padaku tapi aku hanya bilang “terserah” karena ku fikir ini pesta mereka meski aku yang menikah tapi mereka yang lebih berkuasa.

Seminggu pun tiba. Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Ahmad. Hari yang seharusnya bahagia untukku karena Cuma sekali di rasakan. Hari yang seharusnya menjadi hari kebanggaanku dengan pasanganku, namun ini TIDAK, sungguh hari yang membuatku akan sedih seumur hidupku. Namun aku tetap mencoba untuk tersenyum pada tamu-tamu yang datang memberiku selamat wedding ya, selamat menempuh hidup baru, akhirnya nikah juga, eh kapan punya pacarnya tau-tau nikah aja nih hehehe, dan apa sajalah doa-doa yang mereka berikan untukku, tapi jelasnya yang baik-baik lho.

Selama acara resepsi aku hanya terdiam pada suamiku, tidak berkata apa-apa, melihat wajahnya saja tidak hanya dia yang kadang mencuri-curi kesempatan untuk memandang wajahku. Tapi aku tidak merespon sedikit pun. Tatapanku lurus ke depan tidak menatap suamiku yang ada di sampingku. Mungkin ia juga tidak mau menggangguku, atau bahkan takut aku marah kalau ia menyapanya.

Pesta pun selesai. Aku dan Ahmad berada di dalam kamar pengantin untuk beristirahat. Kamar yang indah namun nampak buruk bagiku. “Beiby, kamu mau bobo bareng atau aku duluan aja?”, tanya suamiku yang sudah berada di tempat tidur. “Duluan aja”, jawabku singkat yang masih duduk di meja rias. “Ya udah aku duluan yah nanti kamu nyusul ya Beib, aku bahagia banget malam ini”, katanya. Aku hanya tersenyum. Aku memang sangat benci dengan orang yang ada di tempat tidur itu, namun aku tetap berusaha terlihat biasa saja dan tidak menunjukkan rasa benciku padanya.

Apa itu? Suara apa yang ku dengar. Ya Allah dia mendengkur. Aku tidak bisa tidur mendengar dengkurannya. Aku terbiasa tidur di kamar ini sendirian tidak ada yang menemani kecuali ibu dan juga kadang kakak-kakak iparku. Tapi kali ini ada laki-laki yang berada di tempat tidurku dan mendengkur. Aku marah sekali. Aku tidak suka ada seseorang yang mendengkur.
Tapi biarlah mungkin ia sangat lelah.

Sudah 2 bulan kami berumah tangga dan belum ada tanda-tanda aku hamil. Ya memang sengaja, memang sangat sengaja aku tidak mau hamil. Beberapa kali suamiku menginginkan punya anak, tapi aku hanya menjawab singkat “belum siap”. Selama 2 bulan ini aku minum pil KB dan suamiku menggunakan pengaman setiap kami berhubungan. Tapi suamiku tetap menuruti mauku. Aku merasa seperti ratu, karena aku merasa ini adalah hak ku dengan apa yang sudah mereka lakukan padaku. Untuk apa aku hamil dan punya anak dengan seseorang yang tidak aku cintai? Buat apa? Ga ada enaknya, aku selalu berpikir seperti itu.

Pada suatu hari suamiku mengajakku pindah dari rumah orangtuaku. Ia mengajak pindah rumah ke dekat kantornya dan juga strategis ke kampusku. “Beib, aku boleh ngomong sesuatu ga?”, tanya suamiku. “Ngomong aja ga ada yang ngelarang kok”, kataku dengan terus mengetik tugas kampusku. “Kalau kita pindah rumah gimana? Yang dekat dengan kantorku terus strategis juga ke kampus kamu. Kan kampus kamu juga ga begitu jauh dari kantor aku, gimana beib?”, tanya dia lagi menawarkan. “Ya, aku mau tapi ga mau jauh-jauh dari rumah orangtua aku, itu permintaanku”, kataku yang sebenarnya menolak pindah rumah jauh-jauh. “Ya udah Beib, kita pindahnya ga usah jauh-jauh deh dari rumah orangtua kamu, gimana?”, tanya suamiku lagi. “Asal kamu senang aku juga ikut senang beib”, katanya lagi. “Ya terserah deh tapi aku ga mau jauh-jauh ya”, kataku lagi tidak memandang wajahnya. Sebenarnya aku sangat benci ia memanggilku dengan sebutan “Beiby”. Aku tidak suka orang yang tidak aku cintai memanggilku dengan sebutan “beib” tapi tak apa yang penting semua kemauanku dituruti.

Sebulan kemudian...
Kami pun menempati rumah baru kami. Yah rumah baru yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kedua orangtuaku masih 1 kompleks. “Gimana Beiby, kamu suka ga rumahnya?”, tanya suamiku. Aku mengangguk sambil tersenyum. Bukan tersenyum untuknya tapi rumah ini begitu besar dan mewah. Ada taman, kolam renang, kebun yah pokoknya aku suka. “Makasi ya Beib”, kata suamiku. “Untuk apa?”, tanyaku. “Kamu suka sama rumahnya, jadi aku ga repot-repot deh”, katanya sambil tersenyum. Aku hanya diam dan masuk menelusuri rumah ini.
“Nanti kamar kita yang ini ya Beib, besar kan? Kamu suka kan Beiby”, jelas suamiku. “Ya, lumayanlah”, jawabku pendek.
Aku senang sekali berada di rumah ini. Aku seperti ratu dirumah ini namun aku tetap menjalani tugasku sebagai seorang istri.
Tidak terasa sudah 6 bulan aku berada di rumah ini. Tapi hanya kami bertiga. Yah bertiga aku, suamiku dan juga seorang pembantu. Belum ada anak. Belum ada tawa bayi yang menghiasi rumah ini. Sudah seringkali suamiku menyuruhku untuk berhenti minum pil dan ingin punya anak tapi aku tetap kekeh dengan keinginanku dengan prinsipku, tapi aku tetap bilang “belum siap”. Untungnya suamiku selalu menerima dengan lapang dada.
Pada suatu saat aku lupa minum pil KB tapi ia sengaja tidak mengingatkan aku, padahal biasanya ia selalu mengingatkan aku. Dan akhirnya aku pun hamil. Ini menjadi puncak kemarahan dan kekesalanku padanya. Tapi aneh dia kan pakai pengaman kenapa aku hamil? Seharusnya tidak. Apa yang terjadi? Ternyata setelah datang ke dokter kandungan dan memeriksa kandunganku, dokter memeriksa dan mengecek pengaman bekas suamiku dan ternyata terjadi kebocoran pada alat pengaman suamiku. Aku sungguh marah, sangat marah dan benci padanya. Namun aku tetap tenang meski hatiku bergejolak. Ini adalah puncak kemarahanku.

Bulan pertama kehamilan aku merasakan mual, muntah, pusing layaknya ibu hamil kebanyakan. “Kenapa aku merasakan ini? Aku tidak ingin seperti ini”, kataku dalam hati. Aku ingin sekali menggugurkan kandunganku ini, sempat terbesit aku ingin makan nanas muda hingga janinku ini mati. Tapi selalu aku urungkan.
“Beiby, makan dulu ya baru minum obatnya yah beib biar nanti anak kita sehat, ibunya juga selamat”, kata suamiku. “Ga mau, aku tuh mual tau, kamu tuh ga ngerasain sih apa yang aku rasain”, marahku padanya. “Ya kalau seandainya sakit itu bisa di bagi aku mau ngegantiin sakit kamu beib”, jelasnya padaku. “Alay banget sih kamu”, kesalku padanya. Ia hanya tersenyum padaku. Mungkin menurutnya ini bawaan wanita hamil, tapi ia tidak tahu kalau aku benci padanya saat pertama bertemu, tepatnya saat orangtuaku membicarakan perjodohan aku dengannya.

“Ya udah sini aku suapin yah, kamu mau makan apa beib? Mau aku beliin?”,tanya ia padaku membujuk agar aku mau makan. “Ya udah aku mau gado-gado tapi yang pedes yah tapi inget jangan pake jeruk nipisnya”, kataku lagi. “Jangan pedes-pedes beib nanti kamu tambah mual lagi, biasa aja yah”, katanya lagi. “Ya udah terserah pokoknya aku mau gado-gado”, kataku memaksa sambil membaca majalah accesoris.
Beberapa lama kemudian...

“Nih beib gado-gadonya, kamu maem yah biar ga lemes”, kata suamiku yang tiba-tiba datang. “Kamu beli dimana sih gado-gadonya? Lama banget. Aku jadi ga nafsu lagi tau”, kataku marah. “Maaf beib, tadi gado-gado di depan tutup jadi aku nyari deh terus sekalinya ada ngantri, ya udah sini kamu makan ya aku suapin”, bujuknya lagi. “Ga mau, aku maunya sekarang nasi goreng, tapi kamu yang bikin”, kataku. “Oke beib, asal kamu mau makan apa aja aku lakuin deh buat Beibyku sayang”, katanya lagi. “tapi gado-gadonya gimana?”, tanya suamiku. “Buang aja”, jawabku singkat. “Janganlah Beiby. Kasih ke bibi aja yah, kan sayang udah dibeli ga di makan nanti kita ditagih di akhirat nanti lho”, jelas suamiku. “Terserah”, jawabku dengan kesal.

“Duile udah hamil bu”, canda Lina padaku. Aku hanya tersenyum. “Gimana seneng dong udah mau punya bayi”, kata Lina lagi. “Biasa aja ah, ga ada yang spesial kok”, kataku cuek. “Ih, kamu ini ada-ada aja, emang kenapa sih kamu? Masih ga suka sama semua yang udah terjadi?”, kata Lina penasaran. Aku hanya mengangkat pundak. “Hmmmm,,banyak-banyak berdoa aja deh, kalau kayak gini terus tar kamu nyesel loh”, kata Lina menjelaskan. Aku hanya tersenyum kecut.

“Eh Lin, kita ke mal yuk ada diskon nih kayaknya”, ajak aku pada Lina. “Mau ngapain? Kamu ga mau pulang? Kan harus istirahat, kamu tuh lagi hamil. Tar suami kamu marah lagi”, jelas Lina padaku dengan khawatir. “Dia ga akan marah sama aku, dia sayang banget sama aku, justru dia takut kalau aku yang marah sama dia”, jelasku lagi dengan mantap. “Ya ampun non jangan gitu lah kan kasian juga suami kamu”, jelas Lina lagi. “Tapi mereka semua ga kasian sama aku. Mereka semua buat aku menderita dengan pernikahan ini”, kataku dengan nada ingin menangis. “Tapi kan suami kamu ga berbuat jahat sama kamu, dia sayang dan peduli sama kamu. Apa yang kamu mau di turutin. Dia sering ngajak kamu shalat. Sering nanyain kabar kamu. Kaya juga, orangnya ga pamrih, ga sombong, suka berbagi rezeki. Apanya yang kurang coba, hah?”, jelas Lina padaku menyadarkanku. “Ada Lin, ada kekurangannya. Dia bukan orang yang aku sayang itu dia kurangnya”, kataku sambil pergi meninggalkan Lina. Aku kira Lina akan membelaku, karena ku fikir ia adalah sahabat yang sangat perhatian dengan aku, percaya denganku bahkan kami pun tidak pernah bertengkar. Tapi kali ini ia sungguh berbeda. Aku merasa tidak punya pembela, aku seperti tersangka yang akan segera dihukum penjara. Hatiku sakit sekali, sedih sekali.
Sesampainya dirumah...

Aku langsung masuk ke kamar padahal suamiku ada di ruang depan. Ia tersenyum padaku sambil membaca koran. Aku hanya menatapnya sekilas tanpa membalas senyumnya.
“Beiby udah pulang. Cape yah?”, tanya suamiku. “Iya cape banget”, jawabku singkat. “Kenapa tadi ga sms aku aja nanti kan aku jemput”, katanya lagi.”Ga apa-apa. Yaudah lah aku mau istirahat yah cape banget”, kataku dengan nada agak lemas. “Ya udah kalo gitu kamu istirahat yah Beib, kamu udah makan siang belum?”, tanyanya lagi. “Udah”, jawabku pendek. “Kamu udah shalat dzuhur? Shalat yuk bareng aku”, pinta ia padaku. “Udah tadi di kampus”, jawab ku lagi. “Oh ya udah kalo gitu aku shalat dulu yah”, kata ia. “Iya sana shalat dulu nanti keburu habis waktunya”, kataku lagi. Ia pun tersenyum bangga. Aku balas senyumnya.
Di ruang makan...

“Ih, kamu tuh jorok banget sih mas. Kalau minum itu gelasnya ditutup biar ga ada debu yang masuk terus gelasnya di kasih alas bawahnya biar bekasnya ga lengket di meja. Ih jorok banget sih kamu. Aku ga suka, nanti jadi banyak semut tau ga sih”, kataku marah. “Iya, maaf ya Beib, kamu jangan marah dong kasian nanti anak kita kaget lagi di dalam perut. Aku minta maaf ya, ga lagi-lagi kayak gitu. Sini aku lap yah”, katanya sambil mengelap bekas lengket dengan lap basah dengan penuh ikhlas. Tapi aku tidak peduli dengannya.
“Beib, aku pinjam laptopnya yah buat nyusun raker kantor aku. Soalnya laptop aku, aku tinggal di kantor kalau aku bawa-bawa repot”, jelasnya padaku. “Ya udah mas pake aja ga apa-apa”, kataku datar.
Di kamar...

“Ya Allah Mas Ahmad, kamu kok berantakan banget sih orangnya. Ngapain coba ini baju kamu taro di kasur bukannya di gantung di sana atau taro mesin cuci gitu”, kataku dengan nada agak kesal. Padahal sebenarnya aku sangat membencinya namun aku tetap menghormati ia sebagai suami bukan orang yang ku sayang dalam hidupku. “Iya Beib, aku gantung yah”, katanya tersenyum seraya menggantung bajunya menggunakan hangerku. “Jangan pake hanger aku. Pake hanger kamu dong mas, aku kan beliin juga buat kamu. Apa gunanya aku beli ga kamu pake”, kataku lagi dengan nada kesal. “Iya baik Beib, maaf yah”, katanya sambil mencium pipiku. Aku hanya diam tak bergeming, tak peduli dengan ciuman itu. Aku marah. Aku benci. Tak bergeming sedikitpun.
“Mas, aku mau kerumah ibu dulu sebentar yah. Kamu bisa kan anterin aku?”, pintaku. “Iya Beib, apa sih yang enggak buat kamu. Tapi sebentar yah aku mau mandi dulu, ga enak kerumah mertua dengan badan bau”, katanya sambil tersenyum. Aku hanya tersenyum. Lucu memang tapi hanya sekedar lucu.
“Mas, nanti kalau kamu sibuk kamu pulang aja duluan terus nanti jemput aku yah”, pintaku. “Iya manisku beiby”, katanya lagi.

“Assalamu alaikum”, salam ku pada orang rumah. “Wa alaikum salam. Eh beiby udah pulang. Kok ga telpon aku sih kan nanti aku jemput. Aduh kamu pasti cape ya beib. Duh anak papa ga apa-apa kan ya?”, katany khawatir sambil mengelus-elus perutku.
“Beib mau makan apa?”, tanya ia padaku. “Udah tadi dirumah ibu”, jawabku singkat. “Oh ya udah kalo gitu aku makan ya. Tadinya aku mau makan bareng kamu eh ternyata kamu udah makan hehehe”, canda ia padaku. Aku hanya menatapnya sekilas dan langsung pergi ke kamar.
“Mas Ahmad, kamu udah selesai atau belum ngerjain tugas kantormu?”, tanya aku sedikit berteriak dari dalam kamar. “Iya udah kok beib, kenapa?”, tanya ia penasaran. “Ya di matiin dong kan sayang nanti baterernya habis. Kamu kok ceroboh banget sih mas. Aku ga suka kalo habis pakai ga diberesin”, kataku dengan nada yang mulai kesal.
“Ya iya beib aduh maaf ya aku lupa. Sini aku matiin”,katanya sambil berlari yang sebenarnya ia sedang makan.
Ia tersenyum. Ia tidak marah padaku. Dia yang sering minta maaf padaku. Dia yang selalu tersenyum untukku. Tapi aku yang batu.

Bulan demi bulan berganti. Dan tak terasa usia kandunganku telah mencapai 9 bulan. Aku merasa beban di badanku semakin besar. Tubuhku semakin melar. Wajahku meski kata suamiku terlihat cantik tapi bagiku sungguh aneh. Tubuhku melar, bengkak. Aku merasa ini tidak adil bagiku. Dan pada suatu hari aku merasakan sakit yang luar biasa pada perutku. Seperti tendangan pemain sepak bola. Rasanya tak mau berhenti. Sepertinya aku ingin melahirkan.
“Mas, pokoknya kamu harus pulang sekarang juga dan antar aku ke rumah sakit. Cepetan yah ga pake lama”, kataku sambil merintih kesakitan.
“Kamu kenapa sih beib kok kamu kayak kesakitan gitu hah”, tanya ia khawatir sangat. “Perut aku sakit cepetan jangan tanya-tanya lagi. Buruan aku tungguin kamu”, kataku sambil terus merintih. Tanpa ia mengatakan sesuatu lagi bahkan tidak menutup salam, aku langsung menutup telponnya.
Tibanya dirumah sakit...

Aku merasakan sakit yang luar biasa di ruang bersalin. Dokter menyuruhkan untuk tenang namun aku tidak bisa. Suamiku terus mendampingiku. Ia hiraukan suara dering hp-nya, tak satu pun diangkat dan pada akhirnya ia matikan juga. Ia tetap memberiku dukungan, menasehati aku, memberi aku minum, menyuapi aku makan, mengelus-elus punggungku, mengipas-ngipasi aku. Semuanya ia lakukan dengan ikhlas tanpa pamrih, dengan kasih sayang dan tulus. Dan ini saat yang menegangkan. Pembukaan sudah lengkap, aku pun harus mengejan untuk mengeluarkan bayiku. Sangat sakit dan sulit. Dokter sangat sabar dan terus mengajari aku, tidak terkecuali suamiku. Ia terus berada di sisiku, memelukku, mengusap keningku, menciumku.

Sangat sulit aku melahirkan kali pertamanya ini. Sudah 15 menit aku berusaha mengeluarkan bayi ini namun tak kunjung jua ia keluar. Suamiku menangis, ia terus berdoa khawatir terjadi apa-apa dengan aku dan bayiku. Aku juga menangis tapi bukan karena suamiku, tapi karena aku merasakan sakit yang luar biasa. Ketika aku merasakan sakit yang luar biasa, aku meremas-remas tangannya hingga tangannya sampai lebam membiru, menggigit lengan bajunya, bahkan aku pun mejambak rambutnya untuk menahan rasa sakit tersebut. Akhirnya selama 45 menit aku mengedan, bayi kami lahir dengan jenis kelamin perempuan. Tangis pertamanya terdengar, tangis itu akan menghiasi rumah kami. Suamiku sangat bahagia, ia mengucap syukur, dan terus berterima kasih padaku sambil beberapa kali ia mencium kening dan pipiku.
“Terima kasih ya beib, aku bangga sama kamu, aku bahagia”, katanya sambil terharu.

“Cup cup sayang anak papa jangan nangis ya nak”, kata suamiku pada anakku. “Oh kamu pipis yah, sini papa gantiin, mama kamu lagi bobo kasian mama kecapean jadi kamu sama papa aja ya sekarang. Ucuk ucuk papa sayang banget sama kamu nak”, kata suamiku bercengkerama dengan bayiku.
“Beib, ini kayaknya anaknya pengen nyusu deh, kamu susuin dulu yah”, kata suamiku membangunkanku. Aku kesal lagi tidur enak-enak di gangguin, seharusnya ini jadi tugasnya karena aku sudah lelah saat hamil dan melahirkan dan seharusnya ia bisa mengerti hal itu.
“Ya sini”, kataku agak kesal. Waktu aku menyusui aku sambil tertidur bahkan aku tidak tau apakah anakku masih butuh ASI atau tidak, apakah ia sudah kenyang atau belum, apakah anakku puph atau pipis. Tidak halny dengan suamiku, ia terus menjaga anak kami dan juga aku. Ia rela terbangun untuk anak kami. Ia rela menggantikan popok anak kami kalau ia pipis atau puph. Mungkin ia tidak tega melihatku yang sudah tertidur lelap, ia akan membangunkan aku kalau anakku hanya ingin menyusu.

Hari berganti bulan dan bulan kini berganti tahun. Usia anak kami sekarang 7 tahun. Ia kami beri nama Aisyah. Aisyah kini tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik. Kata suamiku secantik aku. Tapi pergantian waktu tersebut tak berpengaruh padaku. Perasaanku tetap sama terhadapnya. Tidak sedikit pun ada rasa cinta dan sayang terhadapnya.

Putri kami kini sudah sekolah kelas 1SD. Pagi ini aku tidak membuatkan teh untuk suamiku. Aku hanya membuat untukku sendiri dan juga Aisyah. Oh bukan pagi ini, bukan hanya pagi ini. Pagi-pagi sebelumnya pun tidak pernah aku membuatkan teh. Aku hanya membuat untukku sendiri waktu aku belum hamil saat hamil justru ia menyediakan semuanya untukku. Akhirnya ia membuatnya sendiri, seperti biasa selalu ceroboh tidak menggunakan alas gelas. Tapi ntah kenapa aku lupa menegurnya. Jadi aku membiarkan saja itu terjadi.
“Beib, nanti siang mau aku jemput ga? Kamu hari ini mau ke boutiq atau salon?”, tanya suamiku. “Nanti aku mau arisan sama teman-teman di mal, tepatnya di restoran siap saji”, kataku lagi. “Okelah, hmmm Beib aku boleh minta tolong ga?”, kata suamiku bertanya. “Apa?”, kataku. “Bisa ga kamu siapin bekal buat aku makan siang nanti?”, tanya ia padaku. “Emangnya kenapa, tumben”, kataku lagi. “Ga apa-apa sekali-sekali aku pengen di bawain makan siang dari istri tercinta”, kata ia merayuku.”Iya, tunggu sebentar ya, dah kamu makan aja biar aku siapin makan siang sekalian aku mau bawain buat Aisyah”, kataku sambil tersenyum.
Oh ntah mengapa kali ini aku menurut kata-katanya. Tanpa aku merasa terbebani bahkan aku sangat ikhlas. Apakah aku mulai.....Ah tidak biasa saja, memang ini kerjaan istri, menuruti dan mematuhi suami.
Beberapa menit kemudian..

“Sayang, kamu duluan gih ke mobil yah nanti papa nyusul, papa mau ada perlu dulu sama mama”, kata suamiku pada anakku. “Emang papa ada perlu apa”, kata anakku polos. “Kan kalau kamu sekolah pasti di kasih uang saku, papa juga mau di kasih uang saku dari mama hehehe”, canda suamiku. Anakku hanya tersenyum sambil berlari ke dalam mobil.
“Beib, aku berangkat dulu ya, kamu nanti hati-hati kalau ada apa-apa langsung telpon aku aja ya beib”, kata suamiku sambil mencium keningku. Tapi kali ini berbeda, biasanya ia hanya mencium keningku setiap mau berangkat, tapi kali ini beda bukan hanya keningku tapi juga pipiku bahkan juga bibirku. Semua, semua wajahku di cumbu olehnya beberapa kali seperti orang yang hendak ingin pergi jauh. Dan penutup dari ciuman itu ia memelukku sambil berkata “I miss u, I love you Beib. Allah Bless You”, katanya sambil memelukku dengan sangat erat. Aku tidak membalas perkataannya. Aku hanya tersenyum dan mengatakan “Hati-hati di jalan”.

Setibanya di mal, aku bersama kawan-kawanku tidak terkecuali sahabat terbaikku Lina juga datang dengan menggendong putranya yang baru berusia 4 tahun. Kami ber-5 akan mengadakan arisan sekalian reuni masa-masa kuliah.
Acara berlangsung dengan senangnya, kami tertawa gembira, terbahak-bahak. Menceritakan kehidupan kami masing-masing, memamerkan barang-barang yang kami punya dan sebagainya hingga pada saatnya pengocokan ternyata aku yang menang, aku yang dapat uangnya. Aku sungguh senang. Aku pun mentraktir teman-temanku makan dan minum di restoran tersebut.
Tiba saatnya kami harus pulang ke rumah masing-masing. Tapi tidak denganku, aku tidak langsung pulang. Aku justru ke boutiq untuk membeli pakaian untukku, anakku dan juga suamiku. Aku memilih pakaian yang unik tapi tidak pakaian terbuka. Aku bukan tipe wanita yang suka pakaian terbuka, apalagi Yuo can see, singlet, atau kemben sekalian gitu. Aku tetap mematuhi aturan.

Tiba saatnya untuk membayar. Tapi ups aku lupa membawa kredit card. Tapi mana mungkin aku lupa, aku tidak pernah mengeluarkan dompetku dari tas, lalu siapa yang mengambil. Tadi naik taksi aku mengambilnya dari dompet yang satunya lagi. Dompet yang isinya tidak ada kredit cardnya. Itupun aku bayar dengan uang pas, tidak ada kembalinya. Ada memang sisa uang arisan tadi yang aku gunakan untuk mentraktir teman-temanku, tapi sisanya pun tidak cukup untuk membayar uang baju-baju ini.
Aku sungguh malu pada petugas boutiq ini. Petugas ini sudah membolehkan aku pulang terlebih dahulu dan datang lagi untuk membayarnya. Mereka semua percaya padaku karena mereka tahu aku bukan pembohong dan aku memang pelanggan tetap dan setia di boutiq ini. Tapi tetap aku gengsi, lalu tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung menelpon suamiku. “Beib, nanti aja ya telponnya, aku lagi meeting”, katanya bersuara pelan. Aku kesal, langsung saja ku tutup telponnya tanpa aku berkata sepatah pun.
Beberapa menit kemudian...
“Assalamu alaikum beib sayang, tadi kenapa kamu telpon, maaf ya tadi lagi meeting sekarang udah selesai kok”, katanya dari seberang sana. Aku tak peduli dengan meeting itu yang ku butuhkan sekarang adalah uang untuk membayar baju-baju ini.
“Kamu tau ga dompet yang ada credit card aku?”, tanya aku dengan nada agak kesal. “Oh, iya beib, maaf kemarin Aisyah mau jajan tapi aku ga punya receh makanya aku ambil dari dompet kamu itu dan aku lupa naro lagi di tas kamu, kalau ga salah aku taro di laci meja kerja beib”, katanya panjang lebar. Aku tambah kesal dan marah terhadapnya. Aku tidak berkata apa pun langsung ku tutup telponnya.
Kemudian dia menelpon lagi “Beib aku pulang sekarang yah, aku ambil dompetnya terus aku jemput kamu. Beib sayang sekarang dimana?”, katanya agak khawatir aku akan marah besar. “Ga usah kerumah, kamu langsung aja datang ke boutiq langganan aku, aku ga ada uang gara-gara kamu lupa naro lagi dalam tas aku. Nanti kamu bayar sekalian aja”, kataku dengan nada kesal. “Maaf beib”, kata ia dengan nada memelas. Tanpa aku berkata langsung saja ku tutup telponnya.
Detik demi detik telah berlalu menjadi menit. Menit telah berubah menjadi jam. Sudah hampir 2 jam aku menunggu suamiku datang tapi ia tak kunjung jua terlihat batang hidungnya. Boutiq ini juga tempatnya tidak terlalu jauh, macet! Masa ia macet sampai sebegininya. Kemudian tidak sabar ku telpon saja suamiku. Tidak ada jawaban, biasanya hanya 2 kali dering ia sudah mengangkatnya.
Beberapa menit kemudian ku telpon lagi...tapi belum sempat aku menelponnya telponku sudah berdering. Suamiku memanggil. “Halo mas, kamu dimana sih? Kok lama banget sampenya?”, kataku kesal. Tapi sepertinya ia bukan suamiku. “Maaf apakah ibu istri dari Tn. Ahmad?”, kata seseorang dari sana. “Iya, maaf ini siapa ya?”, tanyaku dengan was-was. Ternyata mereka dari pihak kepolisian. Mereka mengatakan bahwa telah terjadi kecelakaan pada suamiku. Suamiku menagalami cidera berat dan ia mengatakan suamiku sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Aku terdiam, bengong, melamun dan hanya bisa berucap “terima kasih”. Tiba-tiba aku terduduk di bangku boutiq dengan diam seribu bahasa, tatapanku kosong sehingga membuat khawatir petugas boutiq dan ia menghampiriku.

Ntah bagaimana aku bisa sampai di rumah sakit. Langkahku memang terasa berat, tapi ntah tubuh terasa ringan. Tatapanku masih kosong, aku hanya celingak-celinguk mencari ruang UGD. Akhirnya setelah sampai pihak kepolisian menjelaskan terjadinya kecelakaan tersebut. Aku masih diam tapi tidak sedih bahkan aku tidak menangisi suamiku. Sampai pada akhirnya orangtua dan ibu mertuaku datang. Mereka bertiga menangisi suamiku. Aku mencoba untuk menghibur mereka. Mereka yang sangat menyayangi suamiku. Aku sungguh sibuk menghibur mereka satu persatu, memeluknya sampai Aisyah anakku datang di jemput oleh kakakku, Mas Fahri.
Aisyah memelukku sambil menangis sesenggukan menanyakan kabar papanya. Namun aku tetap tegar dan mengatakan kalau papanya baik-baik saja.
Dan ini waktu yang ditunggu, dokter keluar dari rung UGD...
“Bagaimana keadaan anak saya dokter?’, tanya ibu mertuaku sambil menangis sesenggukan. Aku hanya melihatnya sambil duduk di kursi dan memeluk anakku. Seharusnya aku yang di situ, aku yang bertanya pada dokter tentang keadaan suamiku. Tapi ntah mengapa tidak ada kesedihan di wajahku namun ada rasa berat di hatiku.
“Maaf bu, kami sudah melakukan yang terbaik tapi anak ibu dalam keadaan koma. Kami akan tetap berusaha semaksimal mungkin”, kata dokter menjelaskan. Ibu mertuaku menangis semakin menjadi. Tapi tidak untukku, aku hanya bisa memeluk ibu mertuaku tanpa ada air mata yang menetes sedikit pun.
Suamiku akhirnya di pindahkan ke ruang ICU dengan beberapa alat bantu untuk tetap hidup. Selang ada di sana-sini. Banyak selang yang saling berhubungan dan masuk ke dalam tubuh suamiku.
Aku di persilakan masuk oleh dokter untuk menemani suamiku. Sedangkan yang lain menunggu di luar.
Aku hanya terdiam melihat suamiku. Tak berkata apa pun walau hanya sekedar menanyakan kabar meski ia sedang koma. Aku tatap wajahnya dengan seksama. Aku pandangi wajahnya lamat-lamat. Ia tertidur. Pulas sekali, tapi kali ini tidak ada suara dengkurannya.
“Ya allah dia begitu tampan, wajahnya sangat polos seperti bayi. Kenapa aku tidak menyadarinya dari dulu”, kata hatiku. Tak terasa mataku begitu berat, air di pelupuk mataku penuh, bendungan di mataku jebol dan akhirnya aku pun menangis. Dadaku sesak, aku berusaha untuk menahannya namun aku tak sanggup menahan jebolan air mataku. Pandanganku buram aku tak melihat suamiku dengan jelas karrena bendungan air mata ini. Setelah ku hapus tetap saja air mata ini keluar. Aku tak pernah menangis seperti ini. Selama 6 tahun aku tidak pernah menangis, kecuali saat melahirkan Aisyah. Selama 6 tahun aku hanya sering memarahinya, kesal dan bahkan benci terhadapnya. Terhadap suamiku sendiri. Orang yang seharusnya aku cintai dan aku sayangi.
Aku menangis karena aku telah menyia-nyiakan cintanya, aku menangis karena telah membencinya, aku menangis karena merasa berdosa pada Allah karena telah mencampakkan orang pilihan-Nya untukku.
“Ya Allah maafkan aku, aku telah menyia-nyiakan cinta yang Engkau berikan”, kataku berlinang air mata. Aku peluk suamiku, aku berharap ia terbangun dan mengatakan “aku cinta padamu istriku”. Aku menyesal dengan apa yang telah aku lakukan selama 6 tahun ini. Dan pembicaraan terakhir aku dengan suamiku sangat aku sesali. Aku berharap ada keajaiban datang dari Allah.
Tapi sepertinya suamiku merespon, ia menggerakkan telunjuk kanannya seperti orang sedang shalat dengan gerakan duduk tahiyatul. Ia menangis, ia merasakan aksi ku, ia seperti tersenyum terhadapku. Dan tiba-tiba terdengar suara azan ashar, sepertinya ia memberiku petunjuk.
“Baik suamiku sayang, aku shalat dulu untuk kesembuhanmu ya”, kataku sambil mencium kening suamiku. Ini tidak pernah ku lakukan selama 6 tahun. Justru ia yang selalu melakukannya.

Setelah shalat ashar...
“Kenapa mereka semua menangis semakin jadi?”, kataku khawatir. Ku dekati orangtuaku. “Bu, ada apa?”, tanyaku gelisah. “Ahmad, nak”, kata ibu sesenggukan. “Kenapa sama mas Ahmad bu, ada apa?”, tanyaku panik dengan jantung berdebar-debar. “Suamimu meninggal sayang”, ibu mertuaku menyambung.
“astaghfirullah. Innalilllahi”, kataku bergumam kaget seperti ada ribuan panah menancap jantung dan hatiku. “Suamiku, Ya Allah suamiku. Ini ga mungkin, tadi ia menangis, ia meresponku, ia tersenyum hangat dan telunjuknya, telunjuknya itu di gerakkan seperti orang sedang tahiyatul, ga,,ga mungkin”, kataku tak percaya suamiku telah tiada. Aku menangis sambil memasuki ruang UGD. Dokter dan suster sedang melepas semua peralatan yang membantu suamiku hidup. “Jangan, saya mohon jangan lakukan ini, saya mohon dok”, kataku menangis dan memelas. “Maaf bu, tapi kami sudah melakukan yang terbaik. Kami sudah berusaha tapi Allah punya kehendak-Nya”, kata dokter.
“Masyaallah suamiku”. Dengan langkah gontai dan lemah aku menghampiri jasad suamiku. Aku berusaha tidak mengeluarkan air mata di depan suamiku. Aku berharap ia akan hidup lagi dan sembuh total. “Mas Ahmad, bangun sayang. Aku masih butuh kamu mas. Demi Allah saya menyesal. Demi Allah saya ga akan bisa hidup tanpa kamu mas”, kataku dengan mata berkaca-kaca sambil mengusap-usap keningnya. Dia begitu pucat, dingin. Namun senyum hangatnya masih terlihat. Senyum yang selalu ia berikan padaku di setiap saat. Senyum yang seharusnya menjadi hiburan untukku saat itu.
“Mas, bangun, nanti aku harus bilang apa sama Aisyah, mas. Aisyah pasti akan bertanya papa kenapa?”, kataku yang mulai berlinang air mata. “Suamiku sayang, ini aku Beibymu sayang”, kataku menangis terisak tak mampu menahan rasa kehilangan ini.
Keluarga ku pun akhirnya masuk dan menghampiriku. Putriku sudah pulang di antar oleh kakakku.
Mereka semua merangkulku dan menghiburku sambil menangis. Aku tak kuasa dengan ini semua. Aku merasa semuanya hampa, tatapanku tiada artinya, pikiranku melayang ke masa lalu. Aku lemas, aku pusing, dadaku sesak melihat hal ini, aku tak sanggup, sungguh aku tak sanggup dan akhirnya aku pun pingsan.

Aku mulai tersadar. Aku tidak tau apa yang terjadi di saat aku pingsan. Aku berharap ketika aku bangun suamiku ada di sampingku dan mengatakan “Kamu kenapa beib? Kamu ga apa-apa kan beib?”. Tapi semua itu tak kan terjadi lagi untuk selamanya. Di saat bangun aku hanya bisa menangis, aku tau aku ada dimana. Ini kamar kami. Kamar aku dan suamiku tercinta. Tapi ia dimana? Kenapa tak ada di sampingku?
Aku melihat jam menunjukkan pukul setengah 5 sore. “Mas, katanya kamu mau jemput aku di boutiq, tapi kenapa sampai jam segini kamu ga jemput? Bahkan aku sudah di rumah terlebih dahulu”, kataku sambil terisak. Ibu mertuaku tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menangis. Entah menangis karena apa? Kehilangan atau melihat kondisiku.
Kemudian tiba-tiba ayah masuk...
“Sinta, berikan ciuman terakhirmu untuk suamimu sayang”, kata ayah dengan mata sembab. Kemudian aku pun keluar dengan di tuntun ibu mertuaku. Badanku masih lemas. Pikiranku masih melayang ke masa lalu.
Saat tiba di depan jasad suamiku...
Aku tak kuasa menahan tangis itu lagi. Ku lihat wajahnya semakin tampan. Kenapa aku tak melihatnya sejak dulu. Aku jarang menatap wajahnya dengan seksama, aku hanya menatapnya sekilas lalu langsung pergi. Kini aku baru menyadari betapa polosnya jika ia sedang tidur seperti bayi. Bahkan aku tidak tega untuk membangunkannya. Suami yang selama ini ikhlas menjalankan tugasnya. Aku tatap lagi wajahnya dan dengan mantap aku mengatakan “Ini suamiku. Suamiku tercinta”, kataku bergumam. Lalu aku peluk tubuhnya dan aku cium kening dan pipinya beberapa kali. Dan aku mengatakan, “I miss you too, i love you too sayang. Selamat jalan”, kataku. Itu kata-kata yang seharusnya aku ucapkan saat suamiku pamit tadi. Aku sungguh menyesal dengan sikapku selama ini. Aku melihat Aisyah menangis sesenggukan. Gadis kecil polos itu sedang di peluk kakak iparku. Aku menghampirinya dan mengatakan “Papa akan tetap ada dalam hati kita nak”, kataku sambil memeluknya.

Suamiku telah di makamkan...
Kini jam menunjukkan pukul setengah 8. Ya ada pengajian untuk suamiku. Suamiku tercinta. Aku lebih memilih mengaji di dalam kamar. Kamar kami yang dulu seharusnya menjadi tempat yang nyaman bagi kami. Kakak iparku menemaniku di dalam kamar sambil membelai-belai rambutku. Aku jadi teringat saat suamiku membelai rambutku. Ia mengatakan “Beib, rambut kamu indah, tapi akan terlihat indah jika kamu tutup dengan kerudung, pasti akan terlihat lebih lebat lagi”. Tapi ketika itu aku menghiraukan omongannya. Aku diam saja tak berkata apa-apa.
Kemudian aku bangun dari tempat tidur dan mengambil jilbab berwarna hitam. Aku bercermin, aku cantik juga, iya kan sayang”, kataku dalam hati berbicara seolah-olah ada suamiku sambil tersenyum.
Ke esokan paginya...
“Mas Ahmad tolong ambilin anduk, aku lupa bawa”, teriakku dalam kamar mandi. “Ini Sinta”, kata seseorang dari luar. Oh ibu mertuaku. Kenapa bukan Mas Ahmad yang datang? Kenapa ibu mertuaku? Kan yang ku panggil suamiku. Ya Allah aku masih berharap suamiku yang datang mengambil handuk ini. Aku pun menangis sambil terduduk lemas di dalam kamar mandi. Menangis terisak. Aku bahkan belum siap kehilangan dia, masih belum mampu kehilangan dia. Tak bisa hidup tanpa dia. Aku menyesal telah menyia-nyiakan cintanya. Aku masih butuh suamiku. Suamiku, aku kangen banget sama kamu. Aku terisak sangat. Dulu ketika ia lupa membawa handuk dan minta tolong aku untuk mengambilnya, aku marah bahkan sering kali aku tidak mau mengambilkannya dan ia keluar dengan menggunakan celana pendek dengan tubuhnya yang masih basah kuyup berlari-lari ke kamar kadang mengambil kesempatan mentoel bokongku, meniup leher dan telingaku supaya aku merasa geli, mengelitik pinggangku bahkan mencium pipiku. Aku marah tapi ia tetap tersenyum dan tertawa. Karena baginya mungkin aku akan senang.
Ketika aku ganti baju...
Ku lihat jas kerjanya tergantung menggunakan hangerku. Dulu aku marah jika ia menggunakan hangerku, aku selalu menyuruhnya menggunakan hangernya sendiri dan ia pun menurut. Kini ku biarkan saja jas itu tergantung dengan hangerku. Aku merasa dengan seperti itu hatiku dan hatinya tetap bersatu. Wanginya tetap sama, wangi parfum suamiku. Bahkan aku tidak mau mencuci jas itu agar wangi itu tetap ada sepanjang masa, agar bekas lengket badan suamiku masih tersisa dan meninggalkan kenangan terindah...

“Sin, Mas boleh ga pinjem laptop kamu?”, kata kakakku, Mas Farhan. “Iya mas boleh, nanti Sinta ambilkan”, kataku. Ketika aku melihat laptopku aku teringat suamiku. Suamiku tercinta. Dulu ketika ia meminjam laptopku, aku selalu marah jika ia tidak men turn-off laptopku. Kini aku tidak mau bekas-bekas jari suamiku di tuts-tuts ini hilang. Aku berharap bekas jari-jari suamiku ini masih ada. Ku lihat satu persatu dari tuts-tuts ini. Mengenang ketika ia mengetik menggunakan laptopku. Aku menangis lagi. Kini ia telah tiada namun kenangan itu telah bersamaku meski aku terlambat untuk mencintainya. Aku jadi tidak ingin meminjamkan laptopku pada kakakku. Akhirnya aku pinjamkan notebook-ku saja. Kuberikan pada kakakku dan ku jelaskan alasannya. Untungnya kakakku pengertian. Ia memelukku erat-erat dan mengatakan “Ikhlaskan suamimu Sinta”.
Dulu ketika di ruang makan ia membuat segelas teh dengan tidak ditutup dan tidak menggunakan alas piring, aku marah padanya karena mejanya akan lengket dan banyak semut. Kini aku pun bahkan tidak mau menghapus bekas lengket tersebut. Ku biarkan saja bekas lengket itu meninggalkan kenangan dan tidak ada yang boleh menghapusnya. Bekas lengket ketika terakhir kalinya suamiku saat ia membuat teh pagi itu sebelum berangkat kerja.
Dulu aku marah jika aku sedang berkumpul dengan teman-temanku ia menelponku. Tapi ia selalu siap sedia jika aku menelponnya. Maka ku biarkan saja hpnnya tetap menyala dan tetap ku aktifkan nomornya agar dering hpnya akan terdengar jika ada seseorang yang menelpon lewat hp suamiku. Dering hp itu selalu ia aktifkan dan tidak pernah di silent atau pun di ganti. Dering hp itu menggunakan lagu ST12 “Satu jam saja ku telah bisa cintai kamu kamu kamu dihatiku. Namun bagiku melupakanmu butuh waktuku seumur hidup”.Aku selalu menangis mendengar lagu itu. Aku teringat suamiku. Memang benar, aku mencintainya 1 jam sebelum kepergiannya. Namun aku tak bisa melupakannya seumur hidupku.
Aku teringat ketika dulu ia menyiapkan makanan untukku teringat ketika aku hamil dan ingin makan gado-gado ternyata karena kelamaan seleraku hilang dan aku marah terhadapnya. Teringat ia selalu mengingatkan aku makan dan makanan apa saja yang harusnya aku makan selama hamil. Teringat ia mengingatkan aku  minum obat agar aku dan bayiku sehat dan selamat. Tapi aku pun tidak pernah peduli makanan apa yang ia makan, apa yang ia sukai dan tidak di sukai. Kapan jadwal ia istirahat di kantor, bahkan aku tidak pernah menelponnya untuk menanyakan ia sudah makan atau belum. Tidak pernah sama sekali, aku menelponnya hanya untuk kepentinganku bukan untukknya. Aku pun juga tidak pernah membawakan bekal untuk suamiku di kantor. Hari itu adalah hari pertama dan terakhir kalinya suamiku membawa bekal dariku. Kini bekas tempat makan ketika itu ku bawakan bekal untuknya tidak ada yang boleh menggunakannya.
Dulu setiap aku masak, aku jarang meninggalkan sisa lauk untuknya. Aku masak hanya untuk aku dan anakku. Aku tak peduli ia sudah makan atau belum. Ia akan makan masakanku jika masih bersisa, jika tidak bersisa ia makan mie instan atau bahkan tidak makan sama sekali. Ketika paginya ku tahu ia tidak mencuci bekas masakannya semalam, aku selalu marah padanya dan memintanya untuk mencucinya. Ia pun ikhlas melakukannya tanpa ada rasa marah dan kesal terhadapku. Ia lakukan dengan senyuman hangat dan mengatakan “Iya maaf beib, makasih ya udah di ingetin”. Tapi jika aku tidak mencuci piring setelah aku makan justru ia yang mencucinya padahal ada bibi yang selalu mencucinya. Ia beralasan orang Cuma 1 ini beib, kan kasian bibi juga. “Ya Allah aku rindu suamiku tercinta”, isakku. Kini aku melakukan hal itu, hal yang pernah di lakukan suamiku. Mencuci piring. Aku tidak mempersilakan bibi mencucinya.
Dulu ketika Aisyah masih bayi, suamiku yang sering mengganti popoknya kalau Aisyah pipis atau puph. Suamiku yang sering bangun tengah malam untuk Aisyah. Ia tidak pernah membangunkan aku khawatir aku akan terganggu tidurnya. Ia akan membangunkan aku jika Aisyah ingin menyusu. Kini aku harus mengurus gadis kecil cantik ini sendirian tanpanya. Tanpa suamiku. Suamiku tercinta. Kenangan yang sangat dekat dengan suamiku adalah Aisyah. Ini adalah hasil antara aku dan suamiku. Aisyah memang mirip papanya. Hidungnya dan juga mulutnya, mirip sekali suamiku. Mungkin ini bisa sedikit mengobati kerinduanku pada suamiku. Suamiku tercinta.
“Mama kenapa nangis?”, tanya anakku dengan polos. “Ga apa-apa sayang, mama Cuma terharu aja bangga punya anak seperti kamu”, kataku sambil memeluk Aisyah.
“Aisyah berangkat sekolah dulu ya mama”, kata anakku berpamitan. Aku mengangguk.
Aku juga teringat dulu ketika aku melahirkan Aisyah. Betapa sulitnya aku harus mengedan sampai-sampai aku membuat tangannya lebam karena remasan tanganku. Suamiku tetap setia menungguku, ia tidak peduli dengan panggilan hpnya bahkan ia mematikan hpnya demi aku dan Aisyah. Ia menangis untukku, ia khawatir terhadapku. Beberapa kali ia menciumku, memelukku, menasehati aku, menyuapi aku. Tapi aku tidak pernah melakukan itu terhadap suamiku. Bahkan ketika ia sakit pun aku hanya menyuruhya istirahat, tidak memberikan apa-apa untuknya, ciuman di kening pun tidak, ucapan cepat sembuh pun juga tidak.
Aku telah menyi-nyiakan suamiku. Suami yang seharusnya aku sayangi dan cintai. Aku terlambat mencintainya. Aku tak memahami arti cinta ketika itu, tapi sekarang aku telah memahaminya meski aku harus kehilangan suamiku.

Sekarang adalah hari ke 40 kepergian suamiku namun aku tetap belum bisa menerima kehilangannya.
Sekarang aku mulai berpikir untuk menghidupi anakku. Aku harus kerja, tapi kerja apa? Selama lulus kuliah 3 tahun lalu aku tidak pernah berpikir untuk kerja. Karena aku sudah ada suamiku yang selalu memberikan semuanya untukku. Jadi untuk apa aku kerja, fikir ku saat itu.
Aku bingung. Aku harus berbuat apa. Aku tak tau apa yang harus ku lakukan.
Ketika malam datang, setelah pengajian selesai aku pergi tidur. Namun belakangan ini aku tidak bisa tidur selama kepergian suamiku. Biasanya kami tidur berdua di sini. Aku selalu marah terhadapnya jika ia tidur dengan mendengkur. Aku pindah ke sofa sampai pagi. Ketika pagi ia tahu aku di sofa ia bertanya “Beiby kenapa kok tidurnya di sofa?”. Aku jelaskan padanya dengan nada kesal. Lalu ia menjawab “Maaf ya beib, aku ga tau kan aku ga sadar”. Dan malam harinya ia tidak tidur di kasur, ia tidur di sofa karena takut aku terganggu dengan suara dengkurannya.
Tapi sekarang, justru aku tidak bisa tidur, aku selalu terbangun karena aku rindu suara dengkuran itu. Aku rindu dengkuran suamiku. Aku berharap setiap aku buka mata, suamiku ada di sisiku sedang tidur sambil mendengkur. Memeluk guling, terkadang juga memelukku. Kini aku tidur sendiri tanpanya dan setiap tidur aku memeluk guling yang sering di gunakan suamiku. Aku berharap masih ada bekas-bekas keringat suamiku, masih ada bekas-bekas bau badan suamiku yang nantinya menempel di tubuhku. Dan ketika bangun aku berharap ini semua hanya mimpi.
Tapi ketika aku memejamkan mata lagi untuk ke sekian kalinya karena sudah sangat ngantuk. Tiba-tiba aku merasa ada di sebuah taman indah, banyak pohon hijau, kupu-kupu. Taman itu sangat wangi sekali, wangi semerbak bunga-bunga yang tumbuh di sekitarnya. Ku pijak rumput-rumput di sekitarnya dengan embun-embun yang sangat lembut. Aku menggunakan gaun putih seperti puteri puteri yang ada di film anak-anak. Aku terlihat cantik. Aku senang sekali, tak pernah sesenang ini. Dari kejauhan ku lihat sesosok laki-laki sedang menghampiriku. Dia menggunakan jubah putih. Tapi jubahnya indah bukan jubah biasa. Jubahnya seperti aliran air terombang ambing. Lengannya sungguh mulus, rambutnya lebat hitam, senyumnya hangat. Dan setelah ia mendekat dan semakin dekat ternyata......Oh suamiku. Ini suamiku. Suamiku tercinta. Aku yang begitu merindukannya sekarang ini. Tanpa ku pikir panjang lagi aku genggam tangan suamiku dan aku cium dengan lembut. Tangan ini sangat halus tidak sehalus aku. Aku bisa menyentuh suamiku. Aku bisa melihatnya sekarang. Aku bahagia, aku terharu. Aku pun memeluknya dengan erat sambil mengatakan “Jangan tinggalkan aku lagi sayang”, isakku. “Siapa yang meninggalkan kamu? Aku masih ada di hatimu beiby sayang, kamu jangan khawatir yah aku akan tetap ada di dalam sanubarimu. Bagaimana anak kita?”, tanya suamiku. “Ia baik-baik saja dan sekarang semakin cantik, dia mirip sekali sama kamu mas”, kataku sambil mengusap-usap pipi suamiku. “Beib sayang, jangan nangis yah, nanti aku berat rasanya. Aku ga akan kemana-mana kok aku tetap akan selalu ada dan setia untukmu seperti yang dulu. Aku akan tunggu bidadariku ini di surga yah”, kata suamiku menghiburku. “Mas, aku ga bisa hidup tanpa kamu. Sekarang aku bingung bagaimana aku harus menghidupi putri sematawayang kita?”,kataku agak panik. “Jangan khawatir beib, semua sudah ada jalannya. Insyaallah Allah akan terus berada di dekat kalian seperti aku yang selalu ada di hatimu”, katanya menjelaskan sambil membelai rambutku. “Ngomong-ngomong rambut kamu indah sekali beib, kamu pakai shmapo apa sih? Kok wangi banget?”, tanya suamiku. “Ini kan saran dari kamu, aku sekarang menggunakan jilbab mas”, kataku sambil tersenyum. “Alhamdulillah beib, aku jadi makin cinta sama kamu”, katanya memelukku. “Mas, aku mau ikut sama kamu, aku mau berbakti sama kamu. Maafkan aku karena aku belum sempat berbakti sama kamu mas. Aku mau ikut kamu kemana pun kamu mengajak dan kemanapun kamu pergi. Izinkan aku mas. Aku mohon izinkan aku”, kataku memohon sambil terisak. “Ga beib, belum waktunya. Aisyah masih butuh kamu. Kamu harus berada terus di sisinya. Masih banyak yang harus kamu kerjakan beib. Sabar ya suatu saat aku akan datang dan menjemput bidadariku”, katanya sambil tersenyum. Sekali lagi ia mengatakan “I miss you, I Love you, Allah bless you honey”. Aku pun membalasnya “I miss you too, I love you too, muah muah muah, ku cium kening dan pipi suamiku. Ku peluk ia dengan sangat erat. “Terima kasih, terima kasih suamiku sayang. Terima kasih suamiku, cintaku, sayangku, beibyku”, kataku sambil berkaca-kaca. Itu kata-kata yang harusnya aku ucapkan untuknya. Selama ini aku tidak pernah mengucapkan terima kasih untuknya. Tapi dia, dia yang selalu mengucapkan. Kemudian tubuhnya seperti memuai, seperti ingin menghilang. “Jaga Aisyah ya, kamu jangan sedih lagi. Aku sayang kamu istriku”, katanya dan tubuhnya pun menghilang.
Aku mencari dan berteriak memanggil namanya. Namun tiba-tiba aku lihat cahaya silau dari kejauhan dan terus menusuk mataku. Hingga aku kaget dan terbangun dari tidurku. “Masyaallah aku barusan mimpi. Mimpi bertemu orang yang sangat aku sayangi. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah Engkau mempertemukan aku dengan orang yang sangat aku rindukan”, kataku dalam hati dengan perasaan lega.
Hari ini katanya ada seorang pengacara datang dari keluarga suamiku. Suamiku tercinta. Ia ingin menyampaikan wasiat yang di tulisnya. Ternyata semua kegalauan dan kekhawatiran aku ada jawabannya. Ternyata selama ini suamiku sekarang menjabat sebagai seorang direktur di perusahaannya bekerja. Pengacara itu yang mengambil slip gaji terakhir suamiku di kantor suamiku. Selama ini aku tidak pernah bertanya suamiku sebagai apa dan gajinya berapa, yang ku tahu adalah ia selalu mengirimnya ke rekeningku dan aku tidak mau tahu yang penting di kirim ke rekeningku. Dan setelah ku lihat ternyata gaji suamiku cukup besar sekitar 7jt tiap bulannya dan semuanya di kirim ke rekeningku tanpa ia ambil sedikitpun. “Ya Allah suamiku begitu besar hatinya”, kataku dalam hati sedih. Kenapa aku tidak pernah mau tahu akan hal tentang dirinya. Siapa dia. Ternyata Engkau mengirim malaikat cinta untukku ya Allah. Tapi aku malah menyia-nyiakan pemberian-Mu.
Dan selama ini suamiku ikut asuransi-asuransi seperti asuransi kesehatan, kecelakaan, dan asuransi lainnya hanya untuk kehidupan di masa depan kami. Dalam wasiat itu ia melimpahkan semua hartanya untuk aku dan putriku. Ia juga tidak lupa mencantumkan ibunya, ibu mertuaku. Dan aku di pesankan untuk bekerja di tempatnya bekerja menggantikan dirinya. Dan ternyata suami ku itu bekerja di perusahaannya sendiri. Perusahaan keluarga yang aku fikir ia hanya bekerja biasa. “Ya Allah betapa hinanya aku ini. Kenapa aku tidak tahu sejak dulu”, aku mulai terisak.
Dan yang membuat aku tidak kuat menahan isak adalah isi suratnya...

Teruntuk istriku tercinta, Sinta Ardianti.
Beib, maaf yah maafin aku karena aku ga bisa selamanya bersamamu, ga bisa selamanya menghiburmu, ga bisa selamanya hidup bersamamu, ga bisa selamanya nemenin kamu. Tapi aku bahagia meski hidup ini singkat karena aku hidup bersama orang yang sangat aku cintai seumur hidupku. Ups maaf biar pun nanti aku telah tiada aku akan tetap mencintaimu.hehehe
Beib, sayang kamu jangan sedih ya atas kepergianku ini. Kamu harus kuat dan tegar demi anak kita Aisyah. Pasti sekarang ia makin cantik, kayak kamu, cantiiiiiiiiiiiiiik banget deh pastinya. Kamu ga usah bingung semuanya sudah aku siapkan untuk masa depan kalian sayang, untuk kamu dan juga putri kita, Aisyah. Tolong kamu jaga dia baik-baik, sekolahkan dia setinggi-tingginya, ia ingin jadi apa saja insyaallah aku setuju asal tidak merugikan kamu dan juga merugikan pahalanya.
Beib, aku juga tahu sebenarnya kamu juga cinta kan sama aku, tapi kamunya ja yang belum bisa membuka hati kamu. Tapi aku akan terus membanjiri kamu dengan cinta.
Hmmmm tapi maaf yah aku bukan orang yang romantis, jadi aku Cuma bisa nulis ini ja. Aku ga bisa sih bikin puisi kalau bisa aku rubah surat ini jadi puisi hehehe...
Oh ya salam ya untuk Aisyah. Katakan padanya aku sangat rindu padanya. Aku ingin ia menjadi anak yang pandai dan pintar, menjadi gadis cantik yang tumbuh dewasa dengan balutan jilbab nantinya. Tapi jangan di paksa kalau dia belum mau, pelan-pelan saja kayak lagunya KOTAK hehehe...
Katakan juga padanya aku setuju saja jika ia menikah nanti. Katakan siapa pun pria itu asal tidak menentang ajaran Allah, aku setuju. Maaf bilang padanya aku tidak bisa hadir untuk menjadi walinya dalam acara pernikahan dia nanti.
Oh ya beib, semoga kamu bisa menemukan orang yang lebih baik dari aku ya beib J
Udah ya sayang pegel juga nulisnya hehehe..
I miss you, i love you, Allah bless you beib..muah J
Suamimu tercinta
Ahmad

“Ya Allah aku tidak menyangka seperginya dia, dia tetap membanjiri kami semua dengan cinta. Aku cinta suamiku. Aku sayang suamiku”, aku pun terisak keras.
“Insyaallah aku akan menjaga putri kita Aisyah dengan sebaik-baiknya. Menjadi gadis yang dewasa, kuat dan tangguh. Dan pastinya akan cantik seperti aku sayang”, kataku dalam hati. Aku akan tetap mencintaimu seumur hidupku Beibyku sayang. Terima kasih sayang, terima kasih. Aku tidak akan memberikan hatiku ini pada siapa pun kecuali denganmu. Suamiku perlu kau tau kamu adalah Beibyku sayang. I love you imamku. Muah...ku cium surat itu dan ku peluk erat surat itu...


sumber : From My Old Laptop......